Hutan tropis Indonesia merupakan bagian dari 10% hutan tropis dunia
yang masih tersisa. Hutan di Indonesia memiliki begitu banyak
keanekaragaman hayati yang terdiri dari 12% jumlah spesies binatang
menyusui/mamalia, 16% spesies binatang reptil dan ampibi, 1.519 spesies
burung dan 25% dari spesies ikan dunia. Sebagian diantaranya adalah
endemik atau khas hanya dapat ditemui di daerah tersebut. Luas hutan
alam asli Indonesia menyusut dengan kecepatan yang sangat
mengkhawatirkan. Hingga saat ini, Indonesia telah kehilangan hutan
aslinya hingga mencapai 72 persen. Penebangan hutan Indonesia yang
tidak terkendali selama puluhan tahun, mengakibatkan terjadinya
penyusutan hutan tropis kita secara besar-besaran.
Lihatlah, apa yang terjadi:
Atas nama pembangunan, penghijauan berubah jadi hutan beton megah
Atas nama keserakahan, hutan-hutan dibabat seliar-liarnya
Atas nama kesengajaan, dan keapatisan hutan-hutan terbakar
Kini keadaan Bumi semakin meranggas
Penggundulan hutan menjadikan udara gerah semakin panas
Lapisan es di kutub Bumi pun semakin mencair dan semakin banyak
Kini keadaan Bumi semakin merana
Perubahan iklim, pemanasan global berdampak bencana
Gempa bumi, tanah longsor, gunung meletus, kekeringan, banjir, hujan badai dimana-mana
( Selengkapnya silahkan klik pada puisi: Keseimbangan Ekosistem Bumi Terusik Sudah, Kompasiana 23 November 2009 )
Suatu kenyataan pahit, yang bisa kita lihat dari keadaan hutan tropis
kita: pembalakan hutan secara liar (illegal logging) dan kebakaran hutan
baik disengaja atau pun tidak. Dalam satu minggu terakhir, Kompas cetak
masih memberitakan pembalakan liar yang masih terus terjadi di hutan
sekitar Riau, Sumatera. Pertanyaan yang langsung terlintas adalah,
bagaimana nasib hewan endemik Harimau Sumatera yang sekarang semakin
langka ? Apakah akan punah menyusul nasib Harimau Jawa dan Bali yang
sekarang tinggal cerita ? Ada juga berita tentang pertambangan batu
bara liar atau resmi tapi tak terkontrol di Taman Hutan Rakyat Bukit
Suharto Kalimantan Timur yang masih terus berlangsung serta
meninggalkan kerusakan lingkungan berupa danau bekas galian disana-sini,
demikian pula masih banyak jenis pertambangan lainnya. Tidak hanya di
Pulau Jawa, Sumatera dan Kalimantan di Papua pun hutan tropis kita sudah
mulai banyak yang berubah fungsi menjadi hamparan perkebunan kelapa
sawit.
Entah sampai kapan hal-hal seperti ini terus berlangsung dan merusak
tatanan ekosistem hutan serta mengancam keberadaan keanekaragaman hayati
yang ada didalamnya. Tidak hanya para penghuni di hutan, tatanan sosial
budaya masyarakat adat di sekitar perkebunan kelapa sawit ini pun
menjadi turut terganggu. Dengan hilangnya hutan berarti hilang juga
sumber kehidupan bagi sebagian rakyat Indonesia, karena hutan merupakan
tempat mencari makanan, obat-obatan serta menjadi tumpuan hidup bagi
sebagian besar rakyat khususnya yang bermukim di dekat hutan.
Manusia perusak lingkungan masih saja berkeliaran. Sudah saatnya segenap
jajaran kementerian lingkungan hidup, para polisi hutan beserta peran
masyarakat di sekitar hutan dioptimalkan jangan sampai peristiwa ini
terus terulang lagi dan terulang lagi.
Coba kita tengok dan pelajari banyak suku-suku adat yang tersebar di
seluruh peloksok Indonesia, mereka pada umumnya sudah bertindak sangat
ramah lingkungan melalui kegiatan hidupnya sehari-hari, dan kita yang
katanya orang kota, faktanya justru banyak yang bertindak kurang peduli
terhadap lingkungan.
Begitu
sangat banyak kearifan budaya lokal dari berbagai suku adat yang banyak
tersebar di seluruh peloksok Indonesia. Salah satunya, kita bisa banyak
belajar untuk menghargai lingkungan dan alam sekitar dari Suku Baduy
di Desa Kanekes, Leuwidamar-Lebak, Banten, yang terletak sekitar 120
kilometer sebelah Barat Daya dari Jakarta. Karena lokasinya yang relatif
dekat di satu provinsi, penulis sempat berkunjung kesana beberapa kali,
untuk cari informasi sambil berolah raga jalan kaki di lingkungan
perbukitan yang berudara bersih dan segar.
Berikut adalah kegiatan dan kehidupan Suku Baduy sehari-hari yang dapat
dijadikan pelajaran berharga serta sesuai dengan usaha kita untuk
mereduksi mengatasi bahaya Pemanasan Global (Global Warming) dan Perubahan Iklim (Climate Change) yang sedang kita hadapi sekarang ini.
Warga
suku Baduy tidak diperbolehkan menebang pohon secara sembarangan,
terutama pohon yang berada pada area hutan lindung karena diperlukan
untuk menjaga keseimbangan dan kejernihan sumber air. Pepohonan di
areal ini tidak boleh ditebang untuk dijadikan apa pun, termasuk diubah
peruntukannya menjadi ladang atau kebon sayur/buah. Pernyataan jangan
merusak hutan sudah sangat dipahami oleh segenap warga Baduy seperti
pernah diungkapkan kokolot Baduy, Jaro Dainah: “Gunung ulah dilebur, Lebak ulah dirusak
!” Seperti kita ketahui hutan tropis Indonesia banyak yang rusak dan
berkurang karena keserakahan kegiatan penjarahan hutan secara liar
(illegal logging) dan pembukaan lahan baru misalnya untuk perkebunan
sawit dengan cara pintas membakar hutan yang mengakibatkan polusi udara
sehingga Indonesia menempati urutan tiga besar penyumbang emisi di dunia
dari segi kebakaran dan perusakan habitat hutannya.
Berladang/ bercocok tanam/ bertani merupakan pekerjaan utama suku Baduy.
Tidak diperbolehkan penggunaan bahan-bahan kimia seperti pestisida
terutama bagi orang Baduy Dalam yang hanya mengunakan pola tradisional
organik dengan dibantu doa serta mantra-mantra. Dengan demikian pola
tanam organik bebas kimia seperti ini, kenyataannya terbukti lebih
bermanfaat dan menyehatkan dan malah sekarang mulai banyak ditiru oleh
‘orang kota’ yang peduli untuk menjaga kesehatannya.
Area
pemukiman menggunakan bahan alamiah yang ramah lingkungan dan dibuat
sendiri oleh warga Baduy secara bergotong-royong. Budaya saling menolong
sangat menonjol diterapkan pada Suku Baduy, terutama jika dijumpai
warga yang terkena musibah atau kesusahan. Seperti kita ketahui, budaya
rasa kebersamaan dan empati tolong-menolong ini semakin tergerus di
lingkungan perkotaan. Lantai panggung dan dinding rumah Suku Baduy
menggunakan anyaman bambu, sedangkan atap dari bahan rumbia, membuat
angin sangat leluasa berhembus menjadikan udara sejuk segar dan cahaya
matahari secara alamiah dapat dimanfaatkan secara maksimal. Disini kita
belajar untuk memanfaatkan sumber energi dari alam yang memang
berlimpah, daripada menggunakan penyejuk udara buatan seperti ac yang
boros listrik dan lampu terutama di siang hari.
Demikian
pula dengan pembuatan fasilitas umum seperti jembatan untuk
menyeberangi sungai, dibuat dari bahan-bahan alamiah seperti: jembatan bambu pada
kampung Gajeboh, memanfaatkan rangkaian bambu besar dan panjang
merupakan karya besar yang benar-benar indah dipandang mata dengan
konstruksi yang ramah lingkungan.
Ada satu lagi jembatan yang sangat unik dan luar biasa indahnya, yaitu jembatan akar
yang panjangnya 25m di atas Sungai Cisemeut, memanfaatkan akar dua buah
pohon karet besar di kedua sisi sungai yang saling dililit/dipilin
membentuk anyaman berbentuk jembatan sehingga dapat digunakan oleh orang
untuk menyeberangi sungai. Sungguh suatu karya hebat yang tidak bisa
dijumpai di kota-kota besar. Ini adalah karya di dunia nyata, tidak
sekedar fiksi seperti jembatan akar yang terlihat pada film ‘Avatar’.
Pohon bambu banyak dijumpai di perkampungan Suku Baduy, hal ini sangat
berperan membantu Bumi dalam menghadapi pemanasan global, karena penanaman bambu seluas satu juta are akan mengurangi hingga 4,8 juta ton emisi CO2 per tahun. *)
Hasil
panen ladang di Baduy terutama padi. Padi ini disimpan di
lumbung-lumbung yang juga dibuat dari bahan bangunan alamiah seperti
pada rumah dan bisa bertahan sampai puluhan bahkan ratusan tahun! Pada
pondasi kaki lumbung (terutama milik warga Baduy Dalam) terdapat papan
berbentuk bidang lingkaran yang berfungsi sebagai penghalang agar hama
tikus tidak dapat masuk ke area lumbung penyimpanan padi. Padi
dimanfaatkan untuk mencukupi kebutuhan pangan warga Baduy. Budaya adat
Baduy juga mengatur bahwa padi yang dihasilkan suku Baduy tidak boleh
diperjualbelikan, baik di dalam ataupun di luar Baduy. Padi hanya boleh
diberikan secara gratis. Bila ada warga yang gagal panen atau kekurangan
beras, warga lain secara gotong royong membantu mencukupi kebutuhan
beras mereka yang tertimpa musibah. Sedangkan tanaman sayur dan buah,
seperti kacang, durian, atau aren ditanam di antara padi pada lahan yang
disebut kebon, dan juga biasa ditanam tumpang sari dengan tanaman padi.
Semuanya ditanam secara organik dan alamiah.
Udara di kampung Baduy yang berbukit-bukit (sebagian kontur kemiringan
tanah mencapai 45 sampai dengan 60 derajat) tergolong masih bersih dan
segar. Salah satunya karena suku Baduy pantang menggunakan alat
transportasi, karena itu asap dari knalpot pun tidak dijumpai di kampung
ini. Tak jarang, warga Baduy-terutama laki-laki-meninggalkan ladangnya
bila pekerjaan di ladang tidak terlalu banyak, kegiatan bepergian ini
dilakukan dengan berjalan kaki walau pun harus ke luar kota ! Disini
kita bisa belajar menciptakan lingkungan yang bersih dengan tidak selalu
tergantung dengan kendaraan bermotor yang asapnya akan menyumbang emisi
CO2 penyebab terjadinya pemanasan global. Budaya jalan kaki bisa kita
terapkan untuk tujuan dekat di sekitar lingkungan kita atau dijadikan
kebiasaan berolah raga jalan setiap pagi atau sore yang bisa menyehatkan
dan menyegarkan tubuh pada setiap harinya.
Kain dan baju yang dipakai oleh warga Baduy merupakan hasil tenunan
sendiri dengan memanfaatkan bahan dan pewarnaan alamiah yang ramah
lingkungan dari hutan yang ada. Demikian pula tas dibuat sebagai
kerajinan tangan suku Baduy (kain tenun dan tas dapat dibeli sebagai
oleh-oleh dari suku Baduy Luar yang tinggal mulai tapak batas sampai
dengan jembatan bambu di kampung Gajeboh). Melalui warna baju yang
dikenakan kita dapat membedakan suku Baduy Luar umumnya mengenakan warna
hitam sedangkan Baduy Dalam warna putih. Untuk kegiatan membersihkan
gigi dan badan juga seperti yang tercantum pada ketentuan peraturan yang
ditulis pada prasasti di gerbang masuk pemukiman Suku Baduy, tidak
boleh menggunakan odol/pasta gigi dan sabun, karena akan mencemari
sungai dan lingkungan. Segala kegiatan ini menunjukkan betapa
bersahabatnya warga Baduy dengan alam sekitar tanpa mencemarinya dengan
segala sampah kimia, busa odol dan sabun, kemasan plastik dan
sebagainya.
Makanan dan minuman warga baduy dibuat sendiri dari kegiatan berladang,
dan pasti tidak tercemar bahan kimia pengawet seperti formalin dan
borax. Salah satu minuman khas yang dibuat adalah campuran jahe dan gula
aren (bisa dibeli sebagai oleh-oleh) yang sungguh sangat menyegarkan
badan setelah jalan-jalan diperkampungan Baduy yang berbukit dengan
pemandangan alamiah yang masih indah dan berudara segar.
Kita harus berjalan dari terminal Ciboleger sekitar 3 kilometer ke
jembatan bambu Baduy Luar di kampung Gajeboh dan sekitar 12 kilometer ke
kampung Baduy Dalam di Cibeo. Sungguh kegiatan jalan-jalan di
perbukitan (hiking) yang cukup menjadikan tubuh berkeringat tetapi pasti sangat menyehatkan !
Kita juga bisa belajar banyak dari budaya makan suku Baduy, kita
terapkan budaya pola makan sehat banyak serat, organik dan segar yang
justru banyak terdapat pada makanan vegetarian tradisionil asli
Indonesia seperti lalapan, gado-gado, lotek, karedok, asinan sayur dan
buah, aneka rujak, ketoprak, kupat tahu, toge goreng, pecel, nasi
lengko, sayur asem, lontong sayur, tahu/tempe, pepes jamur dan oncom
serta masih banyak lagi lainnya. Dengan banyak meng-konsumsi pangan
lokal, berarti kita telah turut berperan menyelamatkan lingkungan,
karena telah memutus rantai transportasi yang menjadi penyebab terbesar
kedua terjadinya Pemanasan Global saat ini, jika kita bisa mengurangi
makan daging (flexitarian) dan bahkan bisa berhenti makan daging
(menjadi vegetarian) maka kita akan memutus rantai pangan daging dari
industri peternakan yang menjadi penyebab utama terbesar terjadinya
Pemanasan Global !
Lihatlah, untuk konsumsi sepotong daging (sapi, domba, babi, ayam dsb)
pada piring makan kita, konversi energi yang dibutuhkan setara dengan
menyalakan lampu 100 watt selama 3 minggu. Satu kilogram daging
menyumbang 36,4 kg CO2. Jika kita membebaskan piring kita dari konsumsi
daging seminggu sekali saja efeknya sangat positif untuk menghambat laju
pemanasan global yang terjadi sekarang ini, karena mempunyai efek 7,6
kali lebih cepat dibandingkan gerakan hemat energi skala rumah tangga
dalam setahun.
Sebagai gambaran industri peternakan dunia menyumbang 35 sampai
dengan 40 persen emisi gas metana (CH4), 9 persen emisi gas CO2, dan
menyumbang 65 persen emisi gas nitrous oksida (N2O), Ketiganya adalah
gas rumah kaca (GRK) paling utama. GRK bertanggung jawab pada
meningkatnya suhu atmosfer Bumi. Peternakan menyumbang sekitar 51 persen
emisi GRK total dunia. *) Untuk diketahui efek pemanasan global gas metana adalah 23 kali lebih kuat dari CO2 dan N2O adalah 296 kali dari CO2.
Dengan sistem kepercayaan, adat-istiadat, serta niat untuk menjaga
keseimbangan alam, suku Baduy terbukti mampu mandiri menghidupi diri
mereka sekaligus melestarikan alam sekitarnya. Warga suku Baduy sangat
cinta produk lokal buatan mereka sendiri, akibat positifnya mereka tidak
‘kena’ resesi ekonomi global dan yang pasti tidak turut menyumbang GRK
penyebab terjadinya Pemanasan Global di bumi kita. Berdasarkan
penelitian dan perhitungan para ahli lingkungan dunia, jika
satu juta orang mengubah gaya hidup dengan berbelanja bahan-bahan
makanan produk lokal selama setahun, kita dapat mengurangi emisi CO2
hingga 625.000 ton. *)
Begitu banyak hal yang dapat kita pelajari dari Suku Baduy yang kata
orang kota masih ‘primitif’ namun sebenarnya telah bertindak sangat
ramah ingkungan. Pemukimannya rapih, lingkungannya bersih, udaranya
segar, sungainya tak tercemar oleh segala macam sampah seperti di
perkotaan dan yang pasti hutannya masih terlihat hijau alamiah. Semoga
saja, budaya adat mereka tidak serta-merta berubah akibat pengaruh yang
datang dari para tamu serta turis yang silih berganti mengunjungi
kampungnya yang memang terlihat masih unik, bersih dan sangat alamiah.
Anda tertarik untuk berkunjung ke Perkampungan Suku Baduy ? Mau naik
kendaraan pribadi atau kendaraan umum seperti bus antar kota dan kereta
api tujuan kota Rangkas Bitung, lanjut ke arah terminal Ciboleger. Jika
belum punya teman untuk petunjuk jalan dapat memanfaatkan jasa penduduk
lokal untuk menemani agar tidak tersesat. Lakukan pengisian daftar tamu
di rumah jaro dekat tugu batas gerbang masuk Perkampungan Baduy, beri
sumbangan sukarela untuk keamanan dan perawatan kebersihan lingkungan,
lalu tinggal pilih tujuan mau lihat obyek jembatan bambu, jembatan akar
atau malah sampai lokasi Baduy Dalam (kecuali pada bulan Kawalu)
silahkan saja.
Namun mohon diperhatikan beberapa ketentuan dan larangan seperti: tidak
menebang pohon secara sembarangan, mencabut atau merusak tanaman
sepanjang jalan yang dilalui, tidak menangkap atau membunuh binatang
yang ditemui di perjalanan, tidak membuang sampah sembarangan (terutama
yang berbahan kaleng dan plastik) di areal pemukiman termasuk sungai,
tidak membuang puntung rokok yang masih menyala dan meninggalkan api
bekas masak/unggun dalam keadaan menyala serta ketentuan-ketentuan
lainnya yang tertera pada prasasti di dekat gerbang masuk.
Dan hal yang paling penting siapkan stamina anda untuk menghadapi trek
jalan setapak mendaki yang ada dan bila belum terbiasa berjalan di tanah
yang basah dan licin, hindari berkunjung pada saat musim hujan.
Ayo kita dukung segala program untuk menjadikan Bumi semakin hijau ( Go Green
), karena penghijauan merupakan salah satu cara ampuh untuk mengatasi
dampak pemanasan global dan perubahan iklim yang sedang dialami Bumi
kita yang cuma satu ini. Dan kita pun bisa turut berpartisipasi
menghijaukan lingkungan dengan mulai menghijaukan halaman rumah kita
masing-masing. Bagi anda yang ingin tahu lebih lanjut, masih ada 1001
cara untuk membantu Bumi dari dampak negatif pemanasan global dimulai
dari rumah, yang bisa dilihat dan klik disini.
Tulisan ini juga dimuat di Blog SAYANGI BUMI dengan URL
http://infosayangibumi.blogspot.com/ atau untuk artikel ini bisa dilihat disini.
Keterangan:
*) Sumber: The Live Earth-Global Warming Survival Handbook 2007, sebagaimana ditulis pada kolom ‘Kita dan Emisi’ Kompas dalam rangka KTT Kopenhagen.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar